Sabtu, 21 Juli 2012

GROUP BAND




                               GROUP BAND 

 

 

 


Java Jazz Festival 2010 : Terbesar di Dunia


Jakarta International Java Jazz Festival 2010

 

Target Capai yang Membanggakan dan Terbesar di Dunia

image
Suara Merdeka CyberNews. Setelah tiga hari berturut-turut menggelinding mulai Jum'at hingga Minggu (5-7/3) akhirnya Jakarta International Java Jazz Festival 2010 purna. Ajang yang dimata pemerhati musik Denny Sakrie menjadi tempat penting belajarnya para musisi Indonesia kepada musisi yang pantas diunduh ilmunya itu, menyimpan berbagai catatan.
Yang paling banyak disoroti adalah komposisi penampil JIJJF 2010. Meski Project Director JIJJF 2010 Eki Puradiredja mengatakan komposisi musisi tahun ini adalah 70-30, 70% musisi jazz, dan 30% non jazz. Namun menurut Denny lebih tepat menyebut komposisi musisi pada penyelenggaran tahun ini adalah 50-50.
Komposisi 50-50 menurut Denny, adalah komposisi favorit para penyelenggara jazz di berbagai negara lainnya. Dengan menyeimbangkan keberadaan musisi jazz dengan non jazz, dapat disiasati untuk mendatangkan orang ke festival jazz.

Namun, jika komposisinya dibalik, hampir dapat dipastikan, hanya masalah waktu, yang mendatangi festival jazz adalah yang mengerti jazz belaka. Untuk alasah itulah, nama seperti John Legend, Kenny ''Babyface'' Edmond, Tony Braxton, hingga Eric Bennet didatangkan di JIJJF 2010. Buktinya, ketika mereka menggelar aksi, dapat dipastikan ribuan orang menyemut di depan panggung.
Hal demikian tidak terjadi ketika jawara jazz seperti Roy Hargrove Quintet, David Murray Black Saint Quartet, Manhattan Transver atau Bubby Chen mempertunjukkan kebisaan mereka. Dapat dihitung dengan jari, ABG yang mengapresiasi aksi mereka. Bandingkan sambutannya ketika para bintang pop, dan Rn'B itu ketika beraksi.
Meski demikian, sebagai sebuah jembatan JIJJF 2010 dinilai semakin tahun semakin menemukan rumusannya sendiri. Hal itu diamini Dwiky Dharmawan. Menurut dia, mendidik seseorang untuk mengerti, dan kemudian menyukai jazz bukanlah perkara mudah. Lewat ajang seperti Jak Jazz, Java Jazz dan berbagai even jazz lainnya itulah, arah ke peningkatan apresiasi jazz menjadi lebih mudah.
Konsep Ramah Dengar yang Disukai
Buktinya, target JIJJF yang telah memasuki tahun keenam itu, diklaim telah berhasil mengumpulkan lebih dari 100 ribu penonton selama tiga hari. Target itu, melebihi capaian penonton penyelenggaraan tahun sebelumnya, yang ''hanya'' mengumpulkan 85 ribu penonton. Meski pada penyelenggaraan hari terakhir (7/3) animo masyarakat tidak setinggi hari perdana, dan kedua.
Pada penutup JIJJF, konsentrasi penonton tertuju pada Kenny ''Babyface'' Edmond. Sedangkan sisanya tersebar di berbagai arena. Diantaranya pada aksi Manhattan Transfer, yang juga disaksikan Wapres Budiono. Hal yang sama terjadi pada penyelenggaran hari kedua, penonton lebih suka ke dunia pop dengan Toni Braxton, dan Diane Warren sebagai ikonnya.
Pada hari pertama, nama John Legend adalah magnit yang tak tertandingi. Meski pada saat bersamaan, musisi jazz kelas wahid sedang mempertontonkan kehebatan mereka. Denny menambahkan, pada sebuah festival termasuk Nort Sea Jazz Festival di Belanda, hal semacam itu menjadi keniscayaan. Dimana publik lebih suka mengkonsumsi musik yang ramah dengar, daripada musik jazz yang butuh penikmatan, dan apresiasi khusus.
''Apalagi di Java Jazz kan ada fenomena, penonton menonton penonton,'' katanya. Atau, dianggap tidak gaul jika tidak menonton Java Jazz meski belum tentu tahu jazz. Meski demikian, keberadaan even penting sekelas JIJJF 2010 tetap harus diapresiasi dan didorong sebaik mungkin. Karena, katanya lagi, mungkin hanya terjadi di Jakarta, penonton jazz bisa mencapai angka 100 ribu lebih.
Hal lain yang menjadi catatan musisi seperti Andi "Rif", Deddy ''Andra and the Backbone'', dan Ari Lasso adalah masalah teknis. Seperti pengelolaan parkir mobil yang semrawut, teknis pre-paid card sebagai pengganti alat transaksi yang sangat mengendala, dan pelayanan voulunters yang kurang bersahabat. Selebihnya, ''JIJJF 2010 bisa menjadi tempat lebaran para musisi antar-genre,'' kata Andi "Rif".
Apa yang dikatakan Andi "Rif", dan juga diamini Deddy beralasan. Karena mereka berdua, sebagaimana musisi non jazz lainnya, merasa diperlakukan sama baiknya, dengan diberi panggung setara dengan musisi jazz besar dunia lainnya di JIJJF 2010.
Sebuah ajang, yang menurut Tim Hauser dari The Manhattan Transfer, yang tampil gemilang dihari pamungkas bersama Ron King Big Band, bersama sekondannya Janis Siegel, Alan Paul dan Cheryl Bentyne itu, ''Sebagai wahana yang membanggakan para musisi jazz dunia,'' katanya dari atas panggung.
Bagi para personil The Manhattan Transfer yang menawarkan musik jazz dengan anak cabangnya seperti boogie-woogie, swing, be-bop, fusion, latin, pop hingga R&B itu, gelaran sekelas JIJJF dapat makin mendekatkan jazz kepada orang paling awam tentang musik sekalipun.
Karena ditangan mereka, jazz dihantarkan dengan tawa, dan penuh suka cita. Tidak sebagaimana yang dicitrakan selama ini, sebagai musik yang gelap, berat, pelik, njlimet, dan tak terpermaknai, karena terlalu teknis, dan aneka penilaian menyesatkan lainnya.
(G20/CN15)
image
Suara Merdeka CyberNews. Setelah tiga hari berturut-turut menggelinding mulai Jum'at hingga Minggu (5-7/3) akhirnya Jakarta International Java Jazz Festival 2010 purna. Ajang yang dimata pemerhati musik Denny Sakrie menjadi tempat penting belajarnya para musisi Indonesia kepada musisi yang pantas diunduh ilmunya itu, menyimpan berbagai catatan.
Yang paling banyak disoroti adalah komposisi penampil JIJJF 2010. Meski Project Director JIJJF 2010 Eki Puradiredja mengatakan komposisi musisi tahun ini adalah 70-30, 70% musisi jazz, dan 30% non jazz. Namun menurut Denny lebih tepat menyebut komposisi musisi pada penyelenggaran tahun ini adalah 50-50.
Komposisi 50-50 menurut Denny, adalah komposisi favorit para penyelenggara jazz di berbagai negara lainnya. Dengan menyeimbangkan keberadaan musisi jazz dengan non jazz, dapat disiasati untuk mendatangkan orang ke festival jazz.

Namun, jika komposisinya dibalik, hampir dapat dipastikan, hanya masalah waktu, yang mendatangi festival jazz adalah yang mengerti jazz belaka. Untuk alasah itulah, nama seperti John Legend, Kenny ''Babyface'' Edmond, Tony Braxton, hingga Eric Bennet didatangkan di JIJJF 2010. Buktinya, ketika mereka menggelar aksi, dapat dipastikan ribuan orang menyemut di depan panggung.
Hal demikian tidak terjadi ketika jawara jazz seperti Roy Hargrove Quintet, David Murray Black Saint Quartet, Manhattan Transver atau Bubby Chen mempertunjukkan kebisaan mereka. Dapat dihitung dengan jari, ABG yang mengapresiasi aksi mereka. Bandingkan sambutannya ketika para bintang pop, dan Rn'B itu ketika beraksi.
Meski demikian, sebagai sebuah jembatan JIJJF 2010 dinilai semakin tahun semakin menemukan rumusannya sendiri. Hal itu diamini Dwiky Dharmawan. Menurut dia, mendidik seseorang untuk mengerti, dan kemudian menyukai jazz bukanlah perkara mudah. Lewat ajang seperti Jak Jazz, Java Jazz dan berbagai even jazz lainnya itulah, arah ke peningkatan apresiasi jazz menjadi lebih mudah.
Konsep Ramah Dengar yang Disukai
Buktinya, target JIJJF yang telah memasuki tahun keenam itu, diklaim telah berhasil mengumpulkan lebih dari 100 ribu penonton selama tiga hari. Target itu, melebihi capaian penonton penyelenggaraan tahun sebelumnya, yang ''hanya'' mengumpulkan 85 ribu penonton. Meski pada penyelenggaraan hari terakhir (7/3) animo masyarakat tidak setinggi hari perdana, dan kedua.
Pada penutup JIJJF, konsentrasi penonton tertuju pada Kenny ''Babyface'' Edmond. Sedangkan sisanya tersebar di berbagai arena. Diantaranya pada aksi Manhattan Transfer, yang juga disaksikan Wapres Budiono. Hal yang sama terjadi pada penyelenggaran hari kedua, penonton lebih suka ke dunia pop dengan Toni Braxton, dan Diane Warren sebagai ikonnya.
Pada hari pertama, nama John Legend adalah magnit yang tak tertandingi. Meski pada saat bersamaan, musisi jazz kelas wahid sedang mempertontonkan kehebatan mereka. Denny menambahkan, pada sebuah festival termasuk Nort Sea Jazz Festival di Belanda, hal semacam itu menjadi keniscayaan. Dimana publik lebih suka mengkonsumsi musik yang ramah dengar, daripada musik jazz yang butuh penikmatan, dan apresiasi khusus.
''Apalagi di Java Jazz kan ada fenomena, penonton menonton penonton,'' katanya. Atau, dianggap tidak gaul jika tidak menonton Java Jazz meski belum tentu tahu jazz. Meski demikian, keberadaan even penting sekelas JIJJF 2010 tetap harus diapresiasi dan didorong sebaik mungkin. Karena, katanya lagi, mungkin hanya terjadi di Jakarta, penonton jazz bisa mencapai angka 100 ribu lebih.
Hal lain yang menjadi catatan musisi seperti Andi "Rif", Deddy ''Andra and the Backbone'', dan Ari Lasso adalah masalah teknis. Seperti pengelolaan parkir mobil yang semrawut, teknis pre-paid card sebagai pengganti alat transaksi yang sangat mengendala, dan pelayanan voulunters yang kurang bersahabat. Selebihnya, ''JIJJF 2010 bisa menjadi tempat lebaran para musisi antar-genre,'' kata Andi "Rif".
Apa yang dikatakan Andi "Rif", dan juga diamini Deddy beralasan. Karena mereka berdua, sebagaimana musisi non jazz lainnya, merasa diperlakukan sama baiknya, dengan diberi panggung setara dengan musisi jazz besar dunia lainnya di JIJJF 2010.
Sebuah ajang, yang menurut Tim Hauser dari The Manhattan Transfer, yang tampil gemilang dihari pamungkas bersama Ron King Big Band, bersama sekondannya Janis Siegel, Alan Paul dan Cheryl Bentyne itu, ''Sebagai wahana yang membanggakan para musisi jazz dunia,'' katanya dari atas panggung.
Bagi para personil The Manhattan Transfer yang menawarkan musik jazz dengan anak cabangnya seperti boogie-woogie, swing, be-bop, fusion, latin, pop hingga R&B itu, gelaran sekelas JIJJF dapat makin mendekatkan jazz kepada orang paling awam tentang musik sekalipun.
Karena ditangan mereka, jazz dihantarkan dengan tawa, dan penuh suka cita. Tidak sebagaimana yang dicitrakan selama ini, sebagai musik yang gelap, berat, pelik, njlimet, dan tak terpermaknai, karena terlalu teknis, dan aneka penilaian menyesatkan lainnya.

Duo Kribo dan Perjalanan Musik Rock Indonesia
Minggu, 14 Maret 2010 | 19:11 WIB
Besar Kecil Normal

TEMPO Interaktif, Jakarta - Dalam acara Bulan Film Nasional 2010, film Duo Kribo kembali diputar pada Ahad siang tadi. Duo Kribo diputar kembali di Kineforum, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, sebagai perayaan ditemukannya kembali kopi film tersebut dalam format 35 mm di Inter Studio, Jakarta. Meski kondisinya sudah tak prima lagi, dengan gambar yang berwarna merah, pemutaran film tersebut menyedot banyak penonton, terutama anak-anak muda.


Banyak hal yang terekam dalam film tersebut, terutama seputar kondisi industri musik dan realita yang melingkupi para musisi. Sejak ditayangkannya film Duo Kribo sekitar 30 tahun silam, potret industri musik di Indonesia boleh dibilang tak pernah berubah. Hingga kini, yang berkuasa di industri musik adalah para cukong atawa bos pemilik label.


Hal itu tergambar dalam film Duo Kribo yang dibintangi Rocker Achmad Albar dan Ucok Harahap – populer dengan nama Ucok AKA. Dalam film tersebut diceritakan Ucok AKA tengah bernegosiasi kontrak rekaman dengan seorang produser. “Ya, cukong, kan, yang berkuasa,” kata Ucok kepada bos sebuah perusahaan rekaman.


Adegan dalam film arahan sutradara Eduard Pesta Sirait itu menunjukkan kondisi industri musik kita saat itu, yakni pada pertengahan 1970-an. Kondisi itu tak berubah sampai sekarang. Boleh dibilang, bos label rekaman tetap saja yang berkuasa.


Dalam sebuah diskusi yang digelar di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, seusai pemutaran Duo Kribo pada sore tadi, pengamat musik Denny Sakrie menyatakan film tersebut bisa menjadi tolok ukur siklus perjalanan industri musik Indonesia, seperti tentang kontrak rekaman di atas.


Hal senada disampaikan produser musik David Tarigan. Menurut David, film tersebut memang menjadi tolok ukur antara musik rock dengan realita di lapangan. Selain urusan kontrak rekaman, dalam Duo Kribo juga terungkap bagaimana konflik yang acap terjadi di dalam sebuah kelompok musik. “Contohnya dalam adegan ketika drummer grupnya Achmad Albar hengkang dan pindah ke bandnya Ucok,” ujarnya.




Tulisan ini pernah dimuat di majalah Rolling Stone - edisi Januari 2008
                          
                               HARI HARI THE ROLLIES                                    Oleh Denny Sakrie
                       Hari-hari datang dan pergi
                       hari esok bukan hari ini
                       Yang akan datang biarlah datang
                       nikmatilah hari ini
                       Hari ini  tak pernah akan kembali
                       Dan nikmati  hingga kemarin
                       Takkan kau sesali lagi

 Lirik lagu "Hari Hari" karya Oetje F.Tekol yang dilantunkan Bangun Soegito Toekiman atau lebih dikenal dengan Gito Rollies pada album "New Rollies Vol.3" (Musica Studio's 1978) seolah menggambarkan atmosfer hedonistik yang pernah dialami oleh kelompok sohor asal Bandung ini.
 Dari rentang waktu 1967 hingga 1983,The Rollies memang seperti mencitrakan sebuah attitude grup rock sejati dengan kredo sex,drugs and rock and roll."Kami jujur mengakui mengalami masa masa itu.Yang secara bercanda kami menyebutnya jaman jahiliah" ungkap Benny Likumahuwa,pemusik berdarah Ambon kelahiran Kediri 18 Juni 1946 yang sering dianggap tetua dalam The Rollies .
Benny Likumahuwa yang menguasai instrument bass,saxophone,flute dan trombone itu menceritakan semua sejarah The Rollies secara detil di sela kesibukannya sebagai pengajar di Sekolah Musik Gladi Resik yang berada di Jalan Hang Lekiu 2 Jakarta Selatan.Bayangkan Benny mengingat semuanya dalam bentuk tanggal peristiwanya  The Rollies,menurut Benny, memang mengalami segalanya.Mulai dari jaman perjuangan mencapai stardom,mencicipi nikmatnya madu kejayaan yang sarat puja-puji hingga terhujam dalam keterpurukan tiada tara. The Rollies mungkin termasuk grup rock Indonesia yang paling sering mengalami bongkar pasang pemain,setelah grup rock God Bless dari Jakarta.
Tapi sebetulnya Benny Likumahuwa bukanlah pendiri The Rollies.Dia acapkali tampil sebagai leader karena memiliki kemampuan leadership serta menguasai teori musik secara ermanen.
 Merebaknya British Invasion di paruh dasawarsa 60-an yang menyemburatkan sederet grup penuh pesona seperti The Beatles,The Rolling Stones,The Yardbirds,Gerry & The Pacemakers,The Hollies dan banyak lagi,memang memicu anak muda negeri ini untuk ngeband termasuk Deddy Sutansjah kelahiran 14 April 1950.Saat itu Deddy yang berusia 15 tahun pada tahun 1965 telah membentuk band dilingkungan sekolahnya..Saat itu jumlah band yang menonjol di Bandung masih bisa dihitung dengan jari yaitu Rhapsodia dan Delimas.
Bersama sahabat sahabat SMP nya seperti Sonson,Emil dan Sukri,Deddy membentuk sebuah kuartet dengan nama The Rollies.Tak jelas apa yang membuat Deddy
memilih Rollies sebagai jatidiri bandnya itu.Diduga,saat itu Deddy tengah keranjingan menyimak album-album milik The Rolling Stones dan The Hollies.Karena tidak puas dengan musikalitas ketiga sahabatnya itu,Deddy lalu bergabung dengan Delimas mengisi kekosongan posisi rhythm gitar dan vokalis.
Genap setahun,Deddy bersama dua  personil Delimas Iwan Krishnawan (drum,vokal) kelahiran 16 Juni 1948 dan Tengku Zulian Iskandar Madian (gitar) kelahiran 16 Oktober 1949 sepakat menyatakan diri keluar dari elimas.Setelah merekrut Delly Djoko Alipin (gitar,organ,vokal) kelahiran 5 November 1947
yang baru saja mengundurkan diri dari The Venus.Mereka pun sepakat untuk menggunakan nama The Rollies yang diciptakan Deddy Sutansjah sebagai jatidiri band. Deddy lalu enyebut bahwa Rollies itu merupakan jenis rambut dari para personilnya
"Roll itu berarti berambut ikal dan lies itu artinya lurus.Jadilah Rollies."ucap Deddy padasaar  saya wawancarai di sekitar tahun 1997 silam.Pengukuhan The Rollies terjadi pada tahun 1966,di saat rezim pemerintahan berganti menjadi Orde Baru.
 The Rollies memang berembrio pada era manakala katup kran musik rock telah terbuka lebar,seiring dengan bergesernya situasi politik negeri ini dengan dibungkamnya gerakan PKI.Sebelumnya musik rock yang kerap disebut ngak ngik ngok dianggap dekaden dan wujud budaya kapitalis.
Beruntung Deddy Sutansjah memiliki orang tua yang  mau memahami keinginan musikal puteranya.Orang tua Deddy yang memiliki hotel akhirnya menjadi tulang punggung keberadaan The Rollies sebagai penyandang dana."Seingat saya orang tua Deddy yang menyediakan peralatan band yang komplit" tutur Iskandar yang kini dikenal sebagai pengusaha.
Dengan formasi Deddy Sutansjah (bass,vokal),Delly Djoko Alipin (gitar,organ,vokal),Iwan Krishnawan (drum,vokal) dan Iskandar (gitar rhythm,vokal),The Rollies mulai melakukan serangkaian gigs dengan membawakan sederet repertoar mancanegara yang tengah menjadi hits mulai dari The Beatles,The Rolling Stones,The Hollies dan banyak lagi.
 Selain itu,The Rollies telah merintis ke dunia rekaman pada tahun 1967 antara lain mengiringi penyanyi Alina Rahman dalam album yang dirilis oleh Parlophone/EMI Singapura yang membawakan lagu-lagu karya Iwan Krishnawan seperti "Cinta Bahagia","Minggu Gembira","Maafkan Daku","Tidurlah Adikku" dan "Bila Hari Minggu" .
 Ditahun itu bergabung pula Bangun Sugito,penyanyi kelahiran Biak 1 November 1946 yang kerap menyanyikan lagu-lagu milik Tom Jones,Engelbert Humperdinck hingga Alfian."Gito betul betul penyanyi pop yang sopan" jelas Iskandar.
 Saat itu,The Rollies mulai menimba pengalaman bermusik dengan bermain secara tetap pada acara Morning Show di bioskop Capitol Singapura .Sepulang dari Singapura,The Rollies mulai menambah perangkat alat musiknya."Yang saya ingat,The Rollies membeli drum
bermerk Rogers,gitar dan bas merk Fender" kenang Gito dikediamannya sekarang di bilangan Rempoa Ciputat Jakarta Selatan.
Walaupun telah memiliki nama yang popular,The Rollies merasakan sesuatu yang stagnan."Kami merasa musik kami kok kurang gereget" cerita Iskandar mengingat peristiwa yang terjadi di tahun 1968.Para personil The Rollies saat itu baru saja terperangah dan terpesona mendengar album "Child Is Father To Man" dari kelompok berbasic brass section asal New York City Blood Sweat & Tears."Kami ingin menambahkan alat tiup dalam The Rollies" ucap Iskandar.
Akhirnya keinginan itu pun terwujud ketika bersua dengan Benny Likumahuwa,peniup saxophone dari grup jazz Bandung Crescendo.
 "Saya memang telah mendengar The Rollies.Karena mereka serius,saya pun bergabung bersama mereka" tukas Benny Likumahuwa.Tak tanggung-tanggung ,semua personil The Rollies lalu diajari meniup instrument tiup.Deddy Sutansjah meniup trombone,Delly memegang flute,Gito bermain trumpet,Iwan meniup trombone,Iskandar memegang saxophone dan Benny bermain saxophone dan trombone.
Dalam setiap pertunjukan,biasanya The Rollies memperlihatkan lpiawaian mereka meniup instrument brass secara serempak dengan emainkan "Variations On Theme" karya Erik Satie dan "Smiling Phase" krya kelompok Traffic yang terdapat pada album kedua Blood Sweat &
Tears" (1969).Dan merebaklah nama The Rollies dalam keharuman.The Rollies menjadi grup papan atas yang disegani penonton Bandung,Jakarta,Medan dan Malang."Penonton Malang yang kritis bisa kami jinakkan" ujar Iskandar.
 Selain,Blood Sweat & Tears,inspirasi musikal The Rollies juga datang dari grup brass rock Amerika lainnya yaitu Chicago Transit Authority yang baru saja merilis debut album pada tahun 1969 dengan lagu-lagu seperti "Does Anybody Really Knows What Time It Is ?" maupun "Question 67 and 68".
The Rollies kemudian bertolak lagi ke Singapura dengan formasi yang lebih menjanjikan.
Saat itu banyak sekali grup-grup Indonesia yang dikontrak sejumalh klab malam maupun bar di Singapura antara lain The Steps,Clique Fantastique,Trio Bimbo hingga The Peels.
Di Singapura The Rollies menyewa sebuah rumah di Jalan Jedburg Garden No.5 di kawasan Frankle Estate ."Itu adalah masa masa yang lumayan pahit.Penuh perjuangan.Anak gadis tetangga kami ternyata naksir Iwan.Akhirnya the Rollies sering diajak makan tetangga" kenang Benny Likumahuwa.
Namun hari hari The Rollies toh tak selalu mendung kelabu.Suatu hari mereka didatangi Mr Lee dari Phillips Singapura yang menawari The Rollies masuk ke bilik rekaman.
 Di Singapura band-band Indonesia yang dikontrak main di berbagai klub malam itu juga merilis album rekaman.Dari perusahaan rekaman Phillips,Polydor,Fontana dan EMI mulai bermunculan album-album milik The Steps,Clique Fantastique,The Peels maupun Trio Bimbo.
Akhirnya The Rollies merilis sekaligus dua album yaitu "Halo Bandung" yang berisikan lagu-lagu instrumental keroncong seperti "Arjati","Bandar Djakarta","Sansaro","Selajang Pandang"
hingga "Puteri Solo".Band seperti The Steps dan The Peels juganmenghasilkan album bernuansa keroncong modern.
 Album lainnya adalah album yang berisikan sederet hits mancanegara seperti "Sunny","Gone Are The Songs Of Yesterday","Kansas City","I Feel Good","Cold Sweat","It's A Man's Man's Man's World" dan banyak lagi.Menariknya,The Rollies tak membawakannya sesuai dengan versi orisinalnya."Kami selalu mengarransemen ulang" jelas Benny Likumahuwa yang bertindak sebagai music director the Rollies.Lagu "Gone Are The Songs Of Yesterday" dianggap lebih berkarakter disbanding versi orisinalnya yang dilantunkan kelompok Love Affair.Bahkan tak sedikit yang menyangka lagu bernuansa mellow itu sebagai karya The Rollies.Lagu ini kelak menjadi trade mark the Rollies dalam berbagai pentas pertunjukan.
Setahun setelah dirilis dua album tersebut, The Rollies mengalami sebuah musibah.Pada tanggal 26 April 1970 terjadi kecelakaan lalu lintas yang naas.Mobil yang ditumpangi personil The Rollies mengalami tabrakan hebat.Sopir yang mengemudikan mobil The Rollies meninggal dunia.Benny Likumahuwa dan TZ Iskandar pingsan seketika dan mengalami luka di kepala.Sedangkan Deddy Sutansjah dan Iwan Krishnawan kepalanya robek dan mengalami pendarahan.Gito dan Delly disekujur tubuhnya bengkak dan lebam.
 Tak lama berselang ibunda Deddy menjemput Deddy untuk pulang ke tanah air.Gito pun ikut serta balik ke Bandung meninggalkan Benny,Iskandar,Iwan dan Delly yang tetap mlanjutkan petualangan musikal di Singapura.
 Di Bandung Deddy Sutansjah dan Gito lalu membentuk band baru dengan nama Happiness dan mulai manggung di berbagai pentas pertunjukan.Banyak yang menganggap Happiness sebagai penjelmaan dari
The Rollies.Ini lumrah,karena The Rollies cukup lama menghilang dari hiruk pikuk pentas pertunjukan di tanah air.
Lalu bagaimanakah nasib the Rollies di Singapura ? Keadaan The Rollies sangat berbeda dengan nama band baru Deddy – Gito yaitu Happiness.
Setelah pasca kecelakaan,kontrak The Rollies langsung dihentikan secara sepihak oleh pengelola klab yang mengontrak mereka.
 Di saat yang bersamaan,muncul Raden Bonnie Nurdaya gitaris Paramour,band Bandung yang dibentuk Djadjat dan luntang lantung di Singapura karena ditelantarkan oleh agency yang membawa mereka ke
Singapura.The Rollies lalu menawarkan Bonnie untuk bergabung dengan The Rollies.Sejak itu Bonnie resmi menjadi personil The Rollies sebagai gitaris.Iskandar lalu berpindah memainkan bass menggantikan
Deddy Sutansjah.
Pada pertengahan tahun 1970 The Rollies kembali menjejakkan kaki ke Indonesia dan langsung main di Medan.Gito kemudian datang menyusul dari Bandung dan bergabung lagi dalam the Rollies.Deddy
sendiri tetap bertahan dalam Happiness.
The Rollies dikontrak di Medan selama setengah tahun.Di penghujung tahun 1970 The Rollies
mengakhiri kontrak di Medan.Tepat tanggal 1 Januari 1971 The Rollies lalu bertolak ke Bangkok,kota yang merupakan barometer night life internasional yang setara dengan Beirut dan Las Vegas.Namun sebagian besar personil The Rollies merasa tak betah bermain di Bangkok.
"Mungkin mereka kaget melihat band-band asal Italia dan Amerika yang bermain bagus.Dan minder" ucap Benny Likumahuwa sembari terkekeh. Benny tetap bertahan di Bangkok dan diajak bergabung dalam kelompok soul funk No Sweat sebagai peniup saxophone.No Sweat sendiri adalah sebuah band multirasial yang antara lain terdiri dari pemusik Amerika,Filipina dan Singapura.
 Delly memutuskan untuk tetap bertahan di Bangkok bersama Benny Likumahuwa.Akhirnya Benny membentuk sebuah grup musik multi rasial juga dengan nama Augersindo yang merupakan akronim dari
Australia,Germany,Singapore dan Indonesia."Nama itu saya yang bikin.Mungkin saat itu karena ada jagoan organ yang bernama Brian Auger" cerita Benny lagi.Augersindo lalu dikontrak bermain di Laos.
 Di tanah air sendiri The Rollies tetap berkibar walaupun tanpa dua tokoh utamanya yaitu Benny Likumahuwa dan Delly Djoko.
Deddy Sutansjah pun kembali bergabung dengan The Rollies dan meninggalkan Happiness.
Menjelang akhir tahun 1971 Benny Likumahuwa dan Delly kembali ke Indonesia.
Saat itu The Rollies malah mendapat tawaran kontrak rekaman dari Remaco (Republic Manufacturing Company).Pemilik Remaco Eugene Timothy tertarik dengan ketenaran Rollies yang menjadi buah
bibir di pelosok Nusantara.
"The Rollies langsung dikontrak sebanyak 5 album.Bahkan kami diberi keleluasaan melakukan apa saja.Artinya mereka tak mengekang kreativitas musik kita" ujar Benny Likumahuwa .
The Rollies kian bersemangat menggarap album perdananya bertajuk "Let's Start
Again" yang bersikan lagu-lagu seperti "I Had To Leave You","Let's Start Again" maupun "My Iggy".
Kegairahan The Rollies meniti karir musik pun ditopang dengan momen bisnis pertunjukan yang agak cerah. Contohnya nilai kontrak show The Rollies berkisar antara Rp 3 juta hingga Rp 5 juta untuk
sekali pertunjukan.Ini jumlah yang besar,jika dibandingkan honor band-band lain yang hanya berkisar sekitar Rp.1 juta.
Sebagai grup sohor,The Rollies selama sepekan bisa  2 hingga 3 kali konser.
Ironisnya,disaat karir musik mereka yang kian cemerlang,sebahagian personil The Rollies malah dicengkeram ganasnya narkoba.
Mereka,Deddy Sutansjah,Iwan Krishnawan dan Bangun Soegito memang goyah dengan ketenaran yang mereka peroleh.Akibatnya,keberadaan The Rollies sebagai grup musik yang
disegani dengan musiknya yang berkualitas mulai terancam.Benny yang mewakili personil The Rollies mulai mengambil tindakan tegas,apalagi di pentas pertunjukan baik Gito,Deddy dan Iwan mulai ngawur dan tidak professional."Mereka malas latihan dan main seenaknya saja" ucap Benny.
Di tahun 1974 Deddy Sutansjah yang acapkali overdosis mundur dari The Rollies dan bergabung dalam God Bless.Tapi karena ketergantungan terhadap narkotika,menyebabkan Deddy pun akhirnya
didepak dari God Bless.
Deddy hanya bertahan 4 bulan dalam formasi God Bless.
Posisi Deddy Sutansjah lalu diisi oleh Oetje F Tekol,pemain bass yang pernah tergabung dalam berbagai band di Bandung seperti "The Savoy's" hingga "Aneka Plaza Band".
 Selain itu,personil The Rollies bertambah dengan masuknya peniup trumpet Didiet Maruto yang mengisi posisi trumpet Gito.Gito mengaku kewalahan harus membagi konsentrasi antara menyanyi ,bermain biola
dan meniup trumpet.
Iwan Krishnawan dan Gito pun mengalami skorsing dari The Rollies.Iwan yang berjanji meninggalkan kebiasaan buruknya  mengkonsumsi narkoba akhirnya diterima lagi di The Rollies.Sedangkan
Gito lalu bergabung dengan band Jakarta Cockpit yang didukung Adjie Bandy,Nadjib Oesman,Dicky,Paultje Endoh dan Emmand Saleh.
 Tapi ternyata cinta Gito memang hanya pada The Rollies.Gito pun kembali bernyanyi untuk The Rollies.
 Namun cobaan yang menerpa The Rollies seolah tak berujung.Pihak
Remaco memutuskan kontrak rekaman the Rollies setelah mereka merilis album ketiga bertajuk "Sign Of Love"."Album album the Rollies menurut Eugene Timothy gagal di pasaran karena terlalu idealis dan
tak memiliki unsur komersiel seperti Koes Plus,Panbers atau The Mercy's.Padahal di saat mengontrak kami,mereka malah memberikan kebebasan pada The Rollies untuk melakukan apa saja" ujar Benny
Likumahuwa berapi-api.
 Meskipun awan kelabu menyelimuti The Rollies,toh mereka tak pernah berhenti bermusik.The Rollies bahkan jadi pemberitaan di berbagai media cetak ketika tampil dalam acara konser musik akbar
bertajuk "Summer `28" (akronim dari Suasana Meriah Menjelang Kemerdekaan ke 28) yang berlangsung di Ragunan Pasar Minggu pada tanggal 16 Agustus 1973.
The Rollies melakukan sebuah eksperimen musik dengan membaurkan instrument band dengan alat musik
tradisional.Arransemen lalu digarap oleh Benny Likumahuwa yang mencoba menggabungkan karakter gamelan Sunda dan Bali.Lalu dipilihlah lagu "Manuk Dadali" karya Sambas sebagai obyek eksprimen.
Pemandangan tak lazim pun terlihat dalam pertunjukan The Rollies.Setiap personil The Rollies  memainkan sekaligus instrument Barat dan gamelan. Iskandar dan Benny menabuh saron,Deddy Sutansjah menghajar gong,Delly memukul gambang,Gito menggesek rebab dan Iwan
menabuh kendang.Eksperimen yang dilakukan The Rollies ini lebih dahulu dilakukan sebelum eksperimen yang dilakukan Harry Roesli maupun Guruh Soekarno Putera dan Gipsy.
Disamping itu,The Rollies pun mulai menggagas pertunjukan dengan didukung  orkestra.Alhasil,ketimpangan non musikal yang mencuat dari kubu the Rollies seperti ketergantungan narkotika dari personilnya bisa diimbangi dengan kualitas musik yang memadai.
"Terus terang saya cukup kelimpungan melihat problem yang berkobar di tubuh The Rollies" ucap Benny Likumahuwa.
Pada tahun 1974 , the Rollies kembali menjalani kontrak selama 4 bulan di Singapura. Disini ternyata Iwan Krisnawan kembali memakai narkoba. Mereka sempat melihat Iwan bersama seorang wanita Menggali yang ternyata sama sama pecandu narkotika. Iwan dan teman wanitanya
saling menyuntikkan zat-zat adiktif di kamar yang hotel terkunci.Karena ingkar janji,ketika pulang kembali ke Bandung, Iwan dengan sangat terpaksa dipecat untuk kedua kalinya dari the Rollies.
Dan Benny Likumahuwa lalu merekrut Jimmie Manoppo drummer The Steel (band Krakatau Steel, Cilegon) yang pernah ia lihat permainannya di sebuah pub, untuk bergabung.
Tak lama berselang Iwan Krishnawan yang pernah dekat dengan penyanyi Anna Mathovani dan aktris Debby Cynthia Dewi menghembuskan nafas terakhir karena keteragntungan narkotika.
Dengan demikian, The Rollies yang limbung akhirnya bisa memulihkan keadaan. Chemistry antara Oetje F Tekol (bas) dan Jimmie Manoppo (drum) menjadikan The Rollies seolah memiliki darah baru.
The Rollies kembali merilis album baru di tahun 1976 di perusahaan rekaman Hidayat Audio Bandung. Uniknya album itu berbentuk live yang diambil dari rekaman pertunjukan The Rollies saat manggung di Taman Ismail Marzuki pada 2 dan 3 Oktober 1976. Album ini bisa dianggap sebagai album live pertama dari sebuah grup rock di Indonesia.
 Setelah itu The Rollies merilis album Tiada Kusangka yang merupakan re-make atas lagu-lagu yang pernah mereka bawakan di album-album ketika Deddy Sutansjah dan Iwan Krisnawan masih bergabung di The Rollies.
 Selanjutnya di era 1977-1979, The Rollies mendapat kontrak rekaman dari Musica Studio. Ini bisa dianggap sukses kedua dalam perjalanan karier grup ini. Karena di era inilah The Rollies banyak
menghasilkan hits seperti Sinar Yang Hilang (Wandi Kuswandi), Dansa Yok Dansa, dan Bimbi (Titiek Puspa), Hari Hari dan Kemarau (Oetje F Tekol), hingga Kau yang Kusayang (Antonius).
Ironisnya setelah merilis album "Keadilan" (Musica Studio's 1977),Benny Likumahuwa justeru mengundurkan diri dari The Rollies.Mundurnya Benny sebagai inspirator diduga karena terjadi
konflik dalam the Rollies.
Di satu sisi,Benny ingin mempertahankan idealisme bermusik.Di sisi lain Delly malah ingin lebih jauh
menceburkan diri pada pola musik yang lebih ringan dan komersiel. Mundurnya Benny Likumahuwa menyebabkan The Rollies menambahkan embel embel new menjadi New Rollies.
Di era ini , Delly Djoko Alipin dan rekan mulai membuka diri dengan menyanyikan lagu-lagu karya komposer di luar tubuh The Rollies, misalnya A Riyanto, Titiek Puspa, Johannes Purba, Antonius.
 Benny Likumahuwa kemudian lebih banyak berkutat di musik jazz.
Posisinya lalu digantikan oleh Wawan Tagalos. Tengku Zulian Iskandar Madian juga mengundurkan diri setelah merilis album Dansa Yok Dansa (1977), posisinya kemudian digantikan Pomo dari The Pro's.,sahabat dekat Delly ketika membantu The Pro's dulu.
 Di tahun 1979 The Rollies memperoleh penghargaan Kalpataru dari Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, karena lagu Kemarau. Lagu yang dikarang Oetje F Tekol dianggap memuat misi dan pesan lingkungan hidup.
Memasuki era 1980-an terjadi perbedaan visi musik di antara personel The Rollies. Pada masa ini Rollies memang tidak banyak melakukan pertunjukan dan rekaman. Seluruh personel malah disibukkan
dengan proyek musik masing-masing. Didiet Maruto ikut bergabung dengan Abadi Soesman Jazz Band, Wawan Tagalos mendukung grup baru Drakhma, Oetje F Tekol aktif sebagai pencipta lagu dan penata musik di berbagai album pop. Bonny Nurdaya mendaurulang lagu-lagu lama The Rollies seperti Salam Terakhir dan Setangkai Bunga. Bahkan ia sempat bereksperimen memadukan musik tradisional Sunda dengan repertoar The Beatles dan The Police dalam album bertajuk Punk Reog.
Sementara Gito Rollies mulai aktif berakting di layar lebar dengan membintangi film Perempuan Tanpa Dosa, Di Ujung Malam hingga Kereta Terakhir. Jimmie Manoppo merintis solo karier di Akurama Record dan menghasilkan 4 album : Album Perdana, Ceritaku Ceritamu, Dewi Angan-angan, dan Ding Dong. Sedangkan Delly Rollies juga bersolo karier lewat 5 album solo yang dirilis Flowers Sound dengan
penata musik Fariz RM, Harry Sabar dan Willy Sumantri.
 Di tahun 1983 The Rollies mencoba comeback lagi lewat album Rollies 83 (Sokha Record) dengan hits Dunia Dalam Berita (Oetje F Tekol) dan Mabuk Cinta (Harry Sabar). Ini merupakan kebangkitan
ketiga The Rollies. Sayangnya setelah merilis album Rollies dengan hits Astuti dan Burung Kecil, tampaknya The Rollies seolah tak memiliki sesuatu yang bisa diandalkan.
Bermunculannya grup-grup seperti Krakatau, Karimata, Emerald, hingga Bhaskara seolah menggilas kekuatan musik The Rollies.Kehadiran grup berkonotasi fusion tersebut menjadikan kelompok musik
ini seolah macan kertas yang tiada berdaya.Meskipun tetap bertahan dengan merilis album-album baru hingga era 90-an, tapi secara jujur harus diakui masa gemilang The Rollies
memang telah lampau.  Penggemar The Rollies hanya bisa terhenyak ketika Deddy
Sutansjah atau Deddy Stanzah meninggal dunia pada tanggal 22 Januari 2001.Setahun kemudian,Delly Djoko Alipin pun menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 30 Oktober 2002.Dan setahun
berselang,Bonnie Nurdaya juga menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 13 Juli 2003.
Gito sendiri mengisi hari hari tuanya dengan menjadi
pendakwah.Dia memang telah tobat.Pada tahun 2005 Gito mengidap limfoma atau kanker kelenjar getah bening.Tahun lalu Gito harus duduk diatas kursi roda.Tangan kanannya melemah tanpa daya.Tapi
beberapa waktu silam,Gito mulai bias berdiri meninggalkan kursi rodanya.
 Jimmie Manoppo masih tetap berkutat di jalur musik dengan mengisi acara-acara musik di TVRI.Oetje F Tekol menjadi guru musik dan sesekali bermain band.Benny Likumahuwa masih aktif bermain musik
jazz dan menjadi guru musik.Didiet Maruto masih tetap bermain musik di berbagai orkestra dan studio rekaman.
 The Rollies adalah perjalanan panjang sebuah band rock Indonesia yang tercatat banyak memberikan kontribusi untuk musik Indonesia.
 Lamat-lamat masih terngiang-ngiang desahan serak khas Bangun
Sugito menyanyikan lagu Hari-Hari.
 Hari ini tak pernah akan kembali
 Dan nikmati hingga kemarin
 Takkan kau sesali lagi

(dari majalah Rolling Stone Indonesia Edisi 34/Januari/2008

Duo Kribo,Dokumentasi Fiktif Perjalanan Musik Rock Indonesia
Judul Film : Duo Kribo
Tahun Edar : 1978
Produksi : PT Interstudio Film Jakarta
Durasi : 116 menit

Pemain : Achmad Albar,Ucok AKA Harahap
Pemain : Eva Yanti Arnaz,Marlia Hardy,Ita Mustafa,Yolanda Sulaiman,Micky Jaguar,Fadhil Usman,Innisisri,Chitra Dewi,AN Alcaff,Ida Kusumah,Komalasari.
Musik : Achmad Albar & Ucok AKA Harahap
Ide Cerita : Ucok AKA Harahap
Skenario : Remy Sylado
Sutradara :Edward Pesta Sirait



Tak pelak lagi Achmad Albar dan Ucok Aka Harahap adalah dua bintang rock yang banyak menumpah ruahkan sensasi panggung pada paruh dasawarsa 70-an.Apalagi.dengan band masing masing : Gof Bless dan AKA,keduanya sering diskenariokan dalam panggung sarat sensasi bertajuk duel meet.

Lalu muncullah wartawan Masherry Manshur yang kemudian memempelaikan kedua paduka berambut kribo itu dalam sebuah album bertajuk "Duo Kribo".

Masih belum cukup ? Lalu dirancanglah sebuah film musikal (lebih tepatnya mungkin disebut film berlatar musik,dalam hal ini pastilah musik rock).

Ceritanya memang ringan dan mengalir bahkan memang dimirip-miripkan dengan latar belakang para tokoh utamanya.Yaitu Achmad Albar yang baru saja pulang ke tanah air setelah menimba ilmu musik di sebuah konservatori musik (ini pun tak dijelaskan,musik apa yang dipelajari Albar) di Eropah.Bahkan hebatnya lulus dengan cum laude pula.Achmad Albar akhirnya memang dicitrakan sebagai penyanyi rock."Saya belajar klasik,tapi memilih rock" tutur Albar di layar lebar.Gaya tuturan ala Remy Syulado terungkap dalam dialog dialog dalam film.Terutama perbincangan mengenai musik klasik.Serta kegilaan Albar terhadap beat rock n'roll di era 50-an.Tentunya lengkap dengan tribute untuk Elvis Presley segala.

Disisi lain,Ucok Harahap dari Medan bermuhibah ke Jakarta untuk mencari peruntungan sebagai penyanyi rock pula.Mulailah terjadi persaingan yang mudah ditebak.Untuk pemanis dimunculkanlah bintang baru bertubuh sintal dan tatapan mata menggoda,Eva Yanti Arnaz.
Di ujung cerita persaingan itu pun berakhir ketika dua penyanyi kribo itu menyatu dalam Duo Kribo.

Film ini pun menyertakan album soundtrack yang dirilis Musica Studio's dan melejitkan hits "Panggung Sandiwara" karya Ian Antono dan Taufiq Ismail.
Beberapa setting berlangsung di Musica Studio's di Jalan Perdatam Jakarta.Beberapa pemusik rock era 70-an ikut pula tampil di film ini semisal Fadhil Usman,gitaris The Minstrels Medan yang menjadi gitaris band Achmad Albar.Juga terlihat rocker kontroversi asal Malang Mickey Michael Merkelbach yang berperan sebagai gitaris band Ucok AKA Harahap.Bahkan drummer Kantata Takwa dan Kelompok Kampungan Innisisri juga tampil sebagai drummer Achmad Albar.
Film ini tepat pula dianggap sebagai dokumentasi fiksi perjalanan musik rock Indonesia di jelang akhir era 70-an.
Edward Pesta Sirait berhasil menangkat sebuah adegan musik Indonesia dalam gaya yang ringan  menghibur.
David Murray
Ditengah banyaknya orang yang sok mengkritik Java Jazz terlalu ngepop dengan menampilkan Babyface,Toni Braxton,Diane Warren maupun John Legend,tapi saya secara jujur harus mengangkat jempol buat Java Jazz yang sejak tahun 2005 justeru banyak (pula) menghadirkan para ksatria jazz yang sarat idealism.Bisa sebut nama-nama seperti Joshua Redman,Ron Carter,John Scofield,Richard Bona,Roy Hargrove dan banyak lagi termasuk tahun 2010 ini yang menyelipkan nama David Murray Black Saint Quartet yang antara lain didukung drummer free jazz brilian Hamid Drake.David Murray yang selama ini hanya saya bisa simak dalam sederet CD-nya kini betul-betul bermain tepat dihadapan saya selama dua malam berturut-turut.
Saat pertamakali menginjakkan kaki di pelatarn JIEX Kemayoran,menu utama Java Jazz yang segera saya cicipi di hari Jumat 5 Maret 2010 adalah sajian dari David Murray Black Saint Quartet yang mulai menyiramkan guyuran jazz sekitar jam 18.00 WIB.
Tiupan saxophonenya mencengkeram benak dan jantung saya.Tonenya istimewa.Berkarakter kuat.Murray seperti menjembatani kuala jazz masa lalu yang disepuh dengan aura masa kini.Sebuah petualangan tekstur bunyi yang sulit untuk dideskripsikan tentunya.Dan Jazz,seperti genre music lainnya adalah dinikmati dan dihayati secara seksama.Itu pula yang saya lakukan saat menyimak penampilan David Murray.
Selain membanding-bandingkan David Murray dengan John Coltrane.Saya tiba-tiba teringat tulisan kritikus jazz Bill Milkowski yang dimuat di majalah Jazz Time Juni tahun 2000 yang membanding-bandingkan David Murray dan trumpetis Wynton Marsalis yang dikenal sebagai jazz purist itu : “Like Wynton Marsalis, David Murray can talk. It may be all they have in common, but the two certainly do share a gift for gab. And they are equally out-spoken. Get Murray going and he will talk about anything. But time is tight this morning and just running down his current activities and rash of recent releases will take up most of it.
Menyimak permainan David Murray kita pun mahfum bahwa pria berkumis ini memiliki wawasan musik yang luas yang kemudian banyak mempengaruhi karakter musik yang dimainkannya.Musik Murray menyeruak luas.Kadang menyelinap ruh gospel,kadang tercium aroma Timur Tengah yang eksotik.Dan dalam benak saya,Murray bagaikan sebuah katalisator yang mengubungkan berbagai anak sungai dalam muara yang begitu luas dan dalam.
Ketika saya tanyakan pada Murray apakah ada keterkaitan antara jazz dan world music ?.Matanya berbinar.Dia tampaknya suka dengan sergahan saya ini.Murray pun menukas :
“After you studied all of the world music you can what you find out is that most of that information is already in jazz.Rasanya itu pernah dilakukan baik itu (Wayne) Shorter,Eric Dolphy,Coltrane….hmmmm Yusef Lateef.Bahkan Duke Ellington juga dengan Far East Suite. I’m not the kind of guy that’s going to be running away from jazz because jazz is certainly the teacher. And other musics are something that we like to study where we can bring it in and incorporate it into our music but we as jazz musicians, we really have to remain focused on strictly jazz and really conquering what that is
“Bagaimana anda melihat Java Jazz Festival ? pamcing saya.
“Oh it’s great…..I’m very interested man !” puji Murray.
Percakapan singkat ini berlangsung pada Minggu malam 7 Maret saat saya tengah berada di depan Hall yang akan menampilkan konser Rufus.Murray pun berdiri didepan pintu ingin menonton konser Rufus .
“Do you like funk ?” tanya saya.
“Yeah……I like funk.I like Brown,Funkadelic and Sly Stone” jawab Murray.
David Murray menyatakan sangat suka bepergian dari satu negara ke negara lainnya memainkan jazz.
“When I see people from different countries, I get a thrill out of showing them what jazz is. I go to Senegal or Guadeloupe or Martinique and do some big band workshops over there. They’re hungry to learn. So I’m ready for the next John Coltranes to come from somewhere else. They might not be coming from North Carolina or New Orleans. Maybe they’ll come from Dakar or Nigeria or Guadeloupe or Martinique. Maybe they’ll come from Scandinavia and maybe from your conntry Indonesia , I don’t know. All I know is, I see these people, they’re eager all over the world for jazz. What I don’t see is that same kind of enthusiasm in US ”
Dan saya yakin David Murray berkata sejujurnya,dari lubuk hati paling dalam.

DISKOGRAFI DAVID MURRAY

1976
David Murray Flowers For Albert
LP
CD India Navigation IN1026 1976
1997
David Murray Low Class Conspiracy
LP Adelphi AD5002 1976
David Murray/Fred Hopkins/Stanley Crouch Live At Peace Church
LP Danola DA001 1976


1977
David Murray David Murray and Low Class Conspiracy Live Volume 1: Penthouse Jazz
LP Circle 18877/4 1977
David Murray David Murray and Low Class Conspiracy Live Volume 2: Holy Siege On Intrigue
LP Circle 18877/8 1977
David Murray and the Low Class Conspiracy Flowers For Albert
(re-issue of Circle 18877/4 & 8) CD West Wind 2039 1990
David Murray Live At The Lower Manhattan Ocean Club Volume 1
LP India Navigation IN1032 1977
David Murray Live At The Lower Manhattan Ocean Club Volume 2
LP India Navigation IN1044 1977
David Murray Live At The Lower Manhattan Ocean Club Volumes 1 & 2
CD India Navigation IN1032 1989
David Murray/James Newton Solomon's Sons
LP Circle 16177/5 1977


1978
David Murray 3D Family, Volume 1
LP hat ART
David Murray 3D Family, Volume 2
LP hat ART
David Murray 3D Family
CD hat ART 6020
David Murray Conceptual Saxophone
LP Cadilac SGC 1007
David Murray Sur-real Saxophone
LP Hora 09
David Murray Organic Saxophone
LP Palm 31
David Murray Last of the Hipmen
LP Red Record VPA 129
David Murray Let The Music Take You
LP
CD Marge 004 (France)
Marge 004 (France) 1978
1993
David Murray The London Concert
LP
CD Cadilac SGC 1008/9
Cadillac SGCCD 08/09 1978
1999
David Murray Interboogieology
LP/CD Black Saint 120018 1978


1979
David Murray Trio Sweet Lovely
LP/CD Black Saint 120039 1980


1980
David Murray Solo Live Vol. 1
LP Cecma 1001 1980
David Murray Solo Live Vol. 2
LP Cecma 1002 1980
David Murray Solo Live
CD Cecma CECM-1 1998
David Murray Octet Ming
LP/CD Black Saint 120045 1980


1981
David Murray Octet Home
LP/CD Black Saint 120055 1982


1982
David Murray Octet Murray's Steps
LP/CD Black Saint 120065 1983


1983
Wilber Morris/Dennis Charles/David Murray Wilber Force
LP/CD DIW 809 1983
David Murray Quartet Morning Song
LP/CD Black Saint 120075 1984


1984
David Murray Big Band Live At "Sweet Basil" - Volume 1
LP/CD Black Saint 120085 1985
David Murray Big Band Live At "Sweet Basil" - Volume 2
LP/CD Black Saint 120095 1985
David Murray Children
LP/CD Black Saint 120089 1985


1985
John Hicks/David Murray Sketches of Tokyo
CD DIW 812 1986
David Murray Octet New Life
LP/CD Black Saint 120100 1985


1986
David Murray Quartet I Want To Talk About You
LP/CD Black Saint 120105 1986
David Murray N.Y.C. 1986
CD DIW 802 1986
David Murray/Jack De Johnette In Our Style
CD DIW 819 1986
David Murray Trio The Hill
LP/CD Black Saint 120110


1987
David Murray Hope Scope
LP
CD Black Saint 120139 1987
1991
David Murray/Randy Weston The Healers
LP/CD Black Saint 120118 1987
David Murray The People's Choice
LP Cecma 1009 1988


1988
David Murray Deep River
CD DIW 830 1988
David Murray Lovers
CD DIW 814 1988
David Murray Ballads
CD DIW 840 1990
David Murray Spirituals
CD DIW 841 1990
David Murray Ming's Samba



CD Portrait/CBS RK 44432 1989
David Murray/Dave Burrell/Wilbur Morris/Victor Lewis Luck Four
CD Tutu CD 888 108 1989
1989
Dave Burrell/David Murray Daybreak
CD Gazell GJCD 4002 1989
David Murray/George Avanitas Tea For Two CD Freshsounds FRSCD 164 1990



1990
David Murray Special Quartet
CD DIW-Columbia CK 52955 1991
David Murray Remembrances
CD DIW 849 1991


1991
David Murray Shakill's Warrior
CD DIW 850 1991
David Murray Big Band David Murray Big Band conducted by Lawrence "Butch" Morris
CD DIW 851
Columbia CK 48964 (USA) 1991
David Murray/James Newton Quintet David Murray/James Newton Quintet
CD DIW 906 1996
David Murray Quartet Black & Black


CD Red Baron AK 48852 1992
David Murray Quartet + 1 Fast Life
CD DIW 863
Columbia CK 57526 (USA) 1993
David Murray/Milford Graves Real Deal
CD DIW 867 1992
David Murray A Sanctuary Within
CD Black Saint 120145 1992
David Murray/Dave Burrell In Concert
CD Victo 016 1991
David Murray Death of a Sideman
CD DIW 866 1992


David Murray Quartet Ballads For Bass Clarinet
CD DIW 880 1993
1992
David Murray Big Band South of the Border
CD DIW 897 1995

Napak Tilas Anak Muda 1970-an -

Oleh : Denny Sakrie pengamat musik
Dimuat di Harian Kompas,30 Maret 2002

MASIH ingat penampilan anak muda 1970-an? Rambut gondrong menuntai, kurus kerempeng berbusana army look, celana cut-bray, dan sepatu tumit tinggi, bagi yang lelaki. Sedangkan yang perempuan berambut sasak, rok mini, dan sepatu boot setinggi lutut. Wow! 
Karena ingin berambut gondrong dan bebas merokok, Supartono Suparto, atau lebih dikenal dengan panggilan Tono Bigman, akhirnya memutuskan bersekolah di Perguruan Taman Madya, SMA di Blok S, Jakarta Selatan pada tahun 1970. "Taman Madya lebih dikenal sebagai John Mayall High School karena muridnya berambut gondrong," ungkap Tono (49), yang saat itu telah ngeband bersama grup Bigman Robinson. 
Mayall, pemusik blues Inggris, dengan rambut tergerai sepunggung, sedang ngetop-ngetopnya di Indonesia, terutama di Jakarta dan Bandung. Dia menjadi idola anak muda di kurun waktu akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Di Bandung pun ada sekolah John Mayall. "Sekolah itu berada di Jalan Naripan. Murid-muridnya dibolehkan memelihara rambut gondrong," ungkap Triawan Munaf (44), praktisi periklanan yang pernah mendukung sederet grup rock di Bandung seperti Lizzard, Giant Step, dan Gang Of Harry Roesli. 
Tampaknya semangat kebebasan memang menjadi milik anak muda. Tak mau diatur, dan sarat kreativitas. "Apalagi, saat itu kita baru lepas dari pemerintahan Orde Lama yang pernah melarang budaya Barat, seperti membreidel musik ngak-ngik-ngok. Makanya wajar bila terjadi pelampiasan dengan meniru pola tingkah yang terjadi di belahan Barat sana," jelas Tono. Musik dan fesyen yang terpicu semangat Flower Power yang anti kemapanan, merasuk di benak anak muda 1970-an negeri ini. "Walaupun harus jujur, saat itu kita cuma meniru kulitnya doang, bukan esensinya," tambah Tono lagi. "Saat itu kita cuma meniru modenya aja. Di sana berambut gondrong, kita pun ikut," kata Triawan sambil tergelak. 
Maka berbondong-bondonglah anak muda Bandung ke kios Apple Shoes di Jalan Dipati Ukur, untuk memesan sepatu bertumit tinggi sekitar 10-15 cm. "Namanya sepatu eksotik. Yang menggunakan sepatu ini nggak jarang mengalami keseleo," tutur Imank Wandi (46), yang menjadi penabuh drum Gang of Harry Roesli pada tahun 1970-an. Selain itu, kata Imank, mereka pun memesan baju-baju eksentrik dan eksklusif di Prima Butik di Jalan Alketiri. "Penjahit Daman di Jalan Jurang yang terkenal dengan jahit bordir pun sibuk menerima order dari anak band," kata Iman lagi. 
Tak beda jauh dengan Bandung, anak muda Jakarta pun sering mengunjungi butik Mic Mac di kawasan Menteng, Topsy di Pasar Baru, dan Hias Rias di Cikini. "Yang mereka cari adalah busana-busana yang dipakai oleh artis dan grup Barat yang mereka lihat di majalah musik Belanda Pop Foto atau Muziek Express," kata Andy Julias (48). "Memang harus diakui, saat itu banyak yang menuding, dekadensi moral gaya hidup bebas anak muda Barat, menjadi pilihan untuk tidak disebut ketinggalan zaman. Mulai terdengar pesta dayak, kebut-kebutan, bahkan free sex," cerita Andy. Andy juga menyebut novel Cross Mama karya Motinggo Boesje sebagai salah satu novel pop yang mewakili kondisi aktual remaja 1970-an. 
Baik Andy maupun Tono sepakat mengakui warna kehidupan anak muda 1970-an menoreh banyak warna. Mulai dari pesta dayak yang acapkali menampilkan live band dari rumah ke rumah, hingga menjamurnya gang-gang di seantero Jakarta. Beberapa nama gang anak muda Jakarta yang menjadi buah bibir di antaranya adalah Legos, Sartana, Bearland, Siliwangi, dan Medisa. "Nama gang itu pun dibikin unik, kayak Sartana yang merupakan singkatan Sarinah Tanah Abang, atau Medisa yang berarti Meleng Dikit Sabet," cerita Tono. 
Apa yang dilakukan anak-anak gang? "Wah, macam-macam. Mulai dari bikin pesta, ngeband, kebut-kebutan, bikin pemancar radio, hingga rebutan cewek," tutur Andy, yang mengaku sering nongkrong di sekitar Jalan Pegangsaan, Menteng. "Nggak bedalah dengan anak muda sekarang. Cuma, kalausekarang sering main keroyokan, dan anak muda 1970-an cenderung lebih sportif," kata Tono, yang mengaku ikut bergaul dengan gang Bearland dan Siliwangi. Saat itu, para gadis pun seolah tidak mau kalah dengan para lelaki. Misalnya, ada gang cewek bernama Degradax yang dikenal jago kebut-kebutan mobil di jalan. "Mereka bisanya adu zig-zag dengan menggunakan mobil Toyota Hardtop dan Fiat 1300," ungkap Tono. 
***
KEGIATAN musik merupakan salah satu kegiatan anak muda 1970-an yang cukup diminati, mulai dari bikin band hingga konser. "Anak band paling banyak dikerubungi siapa saja, termasuk wanita. Kayaknya , kalau punya band, gengsinya luar biasa," kenang Triawan. Di Bandung sendiri berderet band yang bermunculan, seperti The Rollies, Giant Step, Freedom Of Rhapsodia, Gang Of Harry Roesli dan banyak lagi. "Umumnya lebih banyak berorientasi ke musik rock. Mungkin karena rock itu berkonotasi dengan kebebasan jiwa yang berontak hinggar-bingar, dan semacamnya," komentar Triawan. 
Di Jakarta sendiri berderet panjang grup-grup band, antara lain Gipsy, Bigman Robinson, Fancy, Ireka, Rhadows, Rasela, Hookerman, Cockpit, The Lord Ayodya, The Pro's, God Bless dan masih banyak lagi. Selain manggung di pesta-pesta rumahan, mereka juga tampil di beberapa tempat seperti Mini Disco hingga Taman Ismail Marzuki. Saat itu hampir semua band di kota-kota besar membawakan repertoar dari grup-grup kesohor dunia, seperti The Rolling Stones, Jimi Hendrix, Experience, Grand Funk Railroad, Led Zeppelin, hingga Deep Purple. 
Darimana anak band memperoleh repertoar musiknya? "Saat itu sumber yang pasti adalah dari pelat atau piringan hitam. Pelat biasanya dibawa sebagai oleh-oleh dari luar negeri," ucap Tono. Namun, tak sedikit juga yang membeli pelat di sekitar kompleks pertokoan Pasar Baru. "Ada beberapa toko di Pasar Baru yang sering dikunjungi anak muda dulu seperti toko Eropah, Combinatie, dan Sinar Jaya," jelas Ali Gunawan (47), arsitek yang saat itu sempat menekuni dunia disko sebagai disc-jockey. Menurut Ali, yang kini memiliki koleksi piringan hitam lebih dari 10.000 keping ini, harga pelat masih sekitar Rp 1.000 hingga Rp 2.000. "Harga segitu termasuk mahal," kata Ali. 
Juga populer saat itu kaset ketikan. "Kita bisa memesan rekaman lagu yang kita inginkan, lalu judul lagunya diketik sebagai sampul kaset, makanya dinamakan kaset ketikan. Biasanya ada di Jalan Bungsu, dekat perapatan lima Bandung," kenang Triawan. Untuk mendapatkan kaset rekaman di Jakarta, kata Ali, tempat yang paling ramai dikunjungi adalah di kawasan Lokasari. 
Dan tempat barang-barang bekas di bilangan jalan Surabaya juga merupakan tempat yang dikunjungi untuk memperoleh piringan hitam. Kios pelat yang terkenal di Jalan Surabaya adalah milik Silalahi. "Silalahi itu ngerti musik. Barang-barangnya pun termasuk bagus. Jadi nggak heran bila harga yang dipatok Silalahi agak mahal. Tetapi, itu nggak jadi masalah," kata Ali. 
Saking ngetopnya kios pelat Silalahi, gitaris Deep Purple, almarhum Tommy Bolin, sempat mampir di kios kecil milik lelaki berdarah Tapanuli itu. "Saya juga kaget ketika sebuah Mercedes hitam yang ditempeli spanduk Deep Purple, mampir di depan kios saya. Kebetulan waktu itu tengah dipajang album terbaru Purple yang didukung Tommy Bolin, Come Taste The Band. Bolin hanya tersenyum melihat sampul pelat itu," kenang Silalahi (64) 
Maraknya berdiri pemancar radio dengan antena bambu juga menandai kehidupan anak muda tahun 1970-an. "Radio yang cukup beken di Bandung saat itu Bonkenk yang merupakan singkatan Bongkok dan Kerempeng. Sudah pasti radio ini memutar lagu-lagu rock," kata Imank. "Yang saya ingat, Radio Oz Bandung sering jadi tempat kita nongkrong. Malah diajak siaran segala. Bahkan band saya, Giant Step, sempat bernaung di bawah manajemen Radio Oz," kata Triawan. 
Di Jakarta sendiri bermunculan banyak pemancar radio seperti TU 47, Mr Pleasant, Prambors, dan beberapa nama unik lainnya yang rata-rata belum memiliki izin resmi. Prambors, yang berada di sekitar Menteng, baru mengantungi izin resmi sebagai radio swasta niaga pada tahun 1971. Radio yang dibentuk oleh anak-anak muda seputar Jalan Prambanan, Mendut, dan Borobudur ini (kemudian disingkat menjadi Prambors), bisa dianggap membentuk selera musik anak muda saat itu. 
Radio yang menyapa pendengarnya dengan kawula muda ini menjalin akrab di antara anak muda karena memutar lagu-lagu milik The Rolling Stones, Pink Floyd, Black Sabbath, dan Led Zeppelin. "Acara seperti Blues Streamline yang memutar lagu-lagu blues sangat diminati saat itu," kata Imran Amir, direktur utama Radio Prambors, yang di tahun 1970-an sempat mengasuh acara blues itu. 
***
DIMANAKAH anak muda 1970-an nongkrong? "Yang saya ingat tempat yang sering dituju adalah roti bakar Edi di Blok M, serta makan di kawasan Pecenongan. Juga tempat-tempat hiburan seperti Tanamur di Tanah Abang, maupun Mini Disco yang berada di seberang istana," ujar Andy. "Kalau di Bandung biasanya kita dulu sering ngumpul di Jalan Merdeka, juga minum sekoteng di Jalan Bungsu," kata Imank. 
Triawan tidak bisa melupakan restoran Tizi's di Hegar Manah, yang antara lain menyediakan menu khusus Cream Chicken Soup, dan shaslik (sejenis sate daging). "Dan tentu saja draft beer," katanya lagi. Anak muda Jakarta 1970-an juga sangat menikmati acara Malam Muda Mudi yang diprakarsai Gubernur Ali Sadikin dengan menampilkan sederet band-band terkenal, mulai dari pop, dangdut, hingga rock. "Di sepanjang Jalan Thamrin hingga Bundaran HI, dibangun panggung-panggung acara semalam suntuk," kata Tono. "Bigman Robinson sering kebagian panggung yang berada tepat di samping Bundaran HI," tambahnya. 
Saat itu yang namanya hiburan memang merupakan barang langka. Jadi tidak heran setiap ada acara pertunjukan gratis seperti Malam Muda Mudi, penonton acapkali tumpah ruah. Bisa juga dicatat konser yang diberi judul mentereng, Summer 28, yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, tanggal 16 Agustus 1973. Summer 28 sendiri merupakan akronim Suasana Menjelang Merdeka ke-28, dan konon digelar untuk meniru pesta musik akbar Woodstock di AS tahun 1969. 
Maka ditampilkanlah sederet pemusik berbagai aliran dalam acara Summer 28 yang berlangsung dari siang hingga dini hari. Grup-grup yang unjuk gigi di acara yang dihadiri ratusan ribu penonton itu antara lain Koes Plus, The Disc. The Mercy's, Panbers, Bimbo, Gembell's, Bimbo, Pretty Sister, The Rollies, Gang of Harry Roesli, Broery Marantika, The Pro's, Idris Sardi, Remy Silado, Trio Los Morenos, Young Gipsy, Fly Baits, dan God Bless. 
Dua tahun berselang, konser akbar terulang lagi di Jakarta. Kali ini menampilkan Deep Purple yang berlangsung selama dua hari berturut-turut, 4 dan 5 Desember 1975. "Selama dua hari berturut-turut konser ini ditonton sekitar 100.000 penonton," ungkap Denny Sabri dari majalah Aktuil, yang bekerja sama dengan promotor Peter Basuki dari Buena Ventura. 
Sayangnya, selama konser sempat terjadi kericuhan yang dipicu oleh penonton. "Saya nggak habis pikir para penonton bisa jadi brutal di saat menikmati suguhan musik. Meskipun penonton membludak, tetapi kami sebagai penyelenggara, mengalami kerugian karena banyak penonton yang masuk menerobos tanpa membeli tiket," tutur Denny, yang saat ini masih menekuni profesi sebagai pemandu bakat di Bandung. 
Setelah sekian tahun berselang, Deep Purple yang memasuki usia senja, mampir kembali di Jakarta. Apakah sambutan penonton masih tetap menggebu-gebu seperti dulu? "Rasanya nggak. Mungkin bisa dianggap sebagai ajang nostalgia belaka," tutur Triawan. "Apalagi, konser supergrup luar negeri, sekarang bukan hal yang baru lagi," tambah Andy. 
"Mungkin di situ pula letak beda romantika anak muda 1970-an dengan terseret ke alam globalisasi. Kalau dulu emuanya serba terbatas, info musik dan gaya hidup cuma bisa disadap dari majalah Aktuil yang bisa disebut bacaan wajib anak muda. Kalau sekarang, arus informasi sudah sedemikian derasnya bahkan kita nyaris tidak bisa membendungnya dalam filter budaya kita lagi," kata Andy. 
"Tetapi, anak muda sekarang yang begitu banyak dimudahkan oleh fasilitas, apa masih memiliki kreativitas tinggi? Ini yang patut dipertanyakan secara serius. Dulu, kita dengan segala keterbatasan malah mencuatkan kreativitas. Contohnya, ya bikin sepatu tumit tinggi, atau malah bikin dry ice tiruan untuk manggung, dan banyak contoh lainnya," kata Triawan. Betulkah? 

Oleh : Denny Sakrie pengamat musik
Tulisan ini dimuat di Harian Kompas 30 Maret 2002 

MASIH ingat penampilan anak muda 1970-an? Rambut gondrong menuntai, kurus kerempeng berbusana army look, celana cut-bray, dan sepatu tumit tinggi, bagi yang lelaki. Sedangkan yang perempuan berambut sasak, rok mini, dan sepatu boot setinggi lutut. Wow! 
Karena ingin berambut gondrong dan bebas merokok, Supartono Suparto, atau lebih dikenal dengan panggilan Tono Bigman, akhirnya memutuskan bersekolah di Perguruan Taman Madya, SMA di Blok S, Jakarta Selatan pada tahun 1970. "Taman Madya lebih dikenal sebagai John Mayall High School karena muridnya berambut gondrong," ungkap Tono (49), yang saat itu telah ngeband bersama grup Bigman Robinson. 
Mayall, pemusik blues Inggris, dengan rambut tergerai sepunggung, sedang ngetop-ngetopnya di Indonesia, terutama di Jakarta dan Bandung. Dia menjadi idola anak muda di kurun waktu akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Di Bandung pun ada sekolah John Mayall. "Sekolah itu berada di Jalan Naripan. Murid-muridnya dibolehkan memelihara rambut gondrong," ungkap Triawan Munaf (44), praktisi periklanan yang pernah mendukung sederet grup rock di Bandung seperti Lizzard, Giant Step, dan Gang Of Harry Roesli. 
Tampaknya semangat kebebasan memang menjadi milik anak muda. Tak mau diatur, dan sarat kreativitas. "Apalagi, saat itu kita baru lepas dari pemerintahan Orde Lama yang pernah melarang budaya Barat, seperti membreidel musik ngak-ngik-ngok. Makanya wajar bila terjadi pelampiasan dengan meniru pola tingkah yang terjadi di belahan Barat sana," jelas Tono. Musik dan fesyen yang terpicu semangat Flower Power yang anti kemapanan, merasuk di benak anak muda 1970-an negeri ini. "Walaupun harus jujur, saat itu kita cuma meniru kulitnya doang, bukan esensinya," tambah Tono lagi. "Saat itu kita cuma meniru modenya aja. Di sana berambut gondrong, kita pun ikut," kata Triawan sambil tergelak. 
Maka berbondong-bondonglah anak muda Bandung ke kios Apple Shoes di Jalan Dipati Ukur, untuk memesan sepatu bertumit tinggi sekitar 10-15 cm. "Namanya sepatu eksotik. Yang menggunakan sepatu ini nggak jarang mengalami keseleo," tutur Imank Wandi (46), yang menjadi penabuh drum Gang of Harry Roesli pada tahun 1970-an. Selain itu, kata Imank, mereka pun memesan baju-baju eksentrik dan eksklusif di Prima Butik di Jalan Alketiri. "Penjahit Daman di Jalan Jurang yang terkenal dengan jahit bordir pun sibuk menerima order dari anak band," kata Iman lagi. 
Tak beda jauh dengan Bandung, anak muda Jakarta pun sering mengunjungi butik Mic Mac di kawasan Menteng, Topsy di Pasar Baru, dan Hias Rias di Cikini. "Yang mereka cari adalah busana-busana yang dipakai oleh artis dan grup Barat yang mereka lihat di majalah musik Belanda Pop Foto atau Muziek Express," kata Andy Julias (48). "Memang harus diakui, saat itu banyak yang menuding, dekadensi moral gaya hidup bebas anak muda Barat, menjadi pilihan untuk tidak disebut ketinggalan zaman. Mulai terdengar pesta dayak, kebut-kebutan, bahkan free sex," cerita Andy. Andy juga menyebut novel Cross Mama karya Motinggo Boesje sebagai salah satu novel pop yang mewakili kondisi aktual remaja 1970-an. 
Baik Andy maupun Tono sepakat mengakui warna kehidupan anak muda 1970-an menoreh banyak warna. Mulai dari pesta dayak yang acapkali menampilkan live band dari rumah ke rumah, hingga menjamurnya gang-gang di seantero Jakarta. Beberapa nama gang anak muda Jakarta yang menjadi buah bibir di antaranya adalah Legos, Sartana, Bearland, Siliwangi, dan Medisa. "Nama gang itu pun dibikin unik, kayak Sartana yang merupakan singkatan Sarinah Tanah Abang, atau Medisa yang berarti Meleng Dikit Sabet," cerita Tono. 
Apa yang dilakukan anak-anak gang? "Wah, macam-macam. Mulai dari bikin pesta, ngeband, kebut-kebutan, bikin pemancar radio, hingga rebutan cewek," tutur Andy, yang mengaku sering nongkrong di sekitar Jalan Pegangsaan, Menteng. "Nggak bedalah dengan anak muda sekarang. Cuma, kalausekarang sering main keroyokan, dan anak muda 1970-an cenderung lebih sportif," kata Tono, yang mengaku ikut bergaul dengan gang Bearland dan Siliwangi. Saat itu, para gadis pun seolah tidak mau kalah dengan para lelaki. Misalnya, ada gang cewek bernama Degradax yang dikenal jago kebut-kebutan mobil di jalan. "Mereka bisanya adu zig-zag dengan menggunakan mobil Toyota Hardtop dan Fiat 1300," ungkap Tono. 
***
KEGIATAN musik merupakan salah satu kegiatan anak muda 1970-an yang cukup diminati, mulai dari bikin band hingga konser. "Anak band paling banyak dikerubungi siapa saja, termasuk wanita. Kayaknya , kalau punya band, gengsinya luar biasa," kenang Triawan. Di Bandung sendiri berderet band yang bermunculan, seperti The Rollies, Giant Step, Freedom Of Rhapsodia, Gang Of Harry Roesli dan banyak lagi. "Umumnya lebih banyak berorientasi ke musik rock. Mungkin karena rock itu berkonotasi dengan kebebasan jiwa yang berontak hinggar-bingar, dan semacamnya," komentar Triawan. 
Di Jakarta sendiri berderet panjang grup-grup band, antara lain Gipsy, Bigman Robinson, Fancy, Ireka, Rhadows, Rasela, Hookerman, Cockpit, The Lord Ayodya, The Pro's, God Bless dan masih banyak lagi. Selain manggung di pesta-pesta rumahan, mereka juga tampil di beberapa tempat seperti Mini Disco hingga Taman Ismail Marzuki. Saat itu hampir semua band di kota-kota besar membawakan repertoar dari grup-grup kesohor dunia, seperti The Rolling Stones, Jimi Hendrix, Experience, Grand Funk Railroad, Led Zeppelin, hingga Deep Purple. 
Darimana anak band memperoleh repertoar musiknya? "Saat itu sumber yang pasti adalah dari pelat atau piringan hitam. Pelat biasanya dibawa sebagai oleh-oleh dari luar negeri," ucap Tono. Namun, tak sedikit juga yang membeli pelat di sekitar kompleks pertokoan Pasar Baru. "Ada beberapa toko di Pasar Baru yang sering dikunjungi anak muda dulu seperti toko Eropah, Combinatie, dan Sinar Jaya," jelas Ali Gunawan (47), arsitek yang saat itu sempat menekuni dunia disko sebagai disc-jockey. Menurut Ali, yang kini memiliki koleksi piringan hitam lebih dari 10.000 keping ini, harga pelat masih sekitar Rp 1.000 hingga Rp 2.000. "Harga segitu termasuk mahal," kata Ali. 
Juga populer saat itu kaset ketikan. "Kita bisa memesan rekaman lagu yang kita inginkan, lalu judul lagunya diketik sebagai sampul kaset, makanya dinamakan kaset ketikan. Biasanya ada di Jalan Bungsu, dekat perapatan lima Bandung," kenang Triawan. Untuk mendapatkan kaset rekaman di Jakarta, kata Ali, tempat yang paling ramai dikunjungi adalah di kawasan Lokasari. 
Dan tempat barang-barang bekas di bilangan jalan Surabaya juga merupakan tempat yang dikunjungi untuk memperoleh piringan hitam. Kios pelat yang terkenal di Jalan Surabaya adalah milik Silalahi. "Silalahi itu ngerti musik. Barang-barangnya pun termasuk bagus. Jadi nggak heran bila harga yang dipatok Silalahi agak mahal. Tetapi, itu nggak jadi masalah," kata Ali. 
Saking ngetopnya kios pelat Silalahi, gitaris Deep Purple, almarhum Tommy Bolin, sempat mampir di kios kecil milik lelaki berdarah Tapanuli itu. "Saya juga kaget ketika sebuah Mercedes hitam yang ditempeli spanduk Deep Purple, mampir di depan kios saya. Kebetulan waktu itu tengah dipajang album terbaru Purple yang didukung Tommy Bolin, Come Taste The Band. Bolin hanya tersenyum melihat sampul pelat itu," kenang Silalahi (64) 
Maraknya berdiri pemancar radio dengan antena bambu juga menandai kehidupan anak muda tahun 1970-an. "Radio yang cukup beken di Bandung saat itu Bonkenk yang merupakan singkatan Bongkok dan Kerempeng. Sudah pasti radio ini memutar lagu-lagu rock," kata Imank. "Yang saya ingat, Radio Oz Bandung sering jadi tempat kita nongkrong. Malah diajak siaran segala. Bahkan band saya, Giant Step, sempat bernaung di bawah manajemen Radio Oz," kata Triawan. 
Di Jakarta sendiri bermunculan banyak pemancar radio seperti TU 47, Mr Pleasant, Prambors, dan beberapa nama unik lainnya yang rata-rata belum memiliki izin resmi. Prambors, yang berada di sekitar Menteng, baru mengantungi izin resmi sebagai radio swasta niaga pada tahun 1971. Radio yang dibentuk oleh anak-anak muda seputar Jalan Prambanan, Mendut, dan Borobudur ini (kemudian disingkat menjadi Prambors), bisa dianggap membentuk selera musik anak muda saat itu. 
Radio yang menyapa pendengarnya dengan kawula muda ini menjalin akrab di antara anak muda karena memutar lagu-lagu milik The Rolling Stones, Pink Floyd, Black Sabbath, dan Led Zeppelin. "Acara seperti Blues Streamline yang memutar lagu-lagu blues sangat diminati saat itu," kata Imran Amir, direktur utama Radio Prambors, yang di tahun 1970-an sempat mengasuh acara blues itu. 
***
DIMANAKAH anak muda 1970-an nongkrong? "Yang saya ingat tempat yang sering dituju adalah roti bakar Edi di Blok M, serta makan di kawasan Pecenongan. Juga tempat-tempat hiburan seperti Tanamur di Tanah Abang, maupun Mini Disco yang berada di seberang istana," ujar Andy. "Kalau di Bandung biasanya kita dulu sering ngumpul di Jalan Merdeka, juga minum sekoteng di Jalan Bungsu," kata Imank. 
Triawan tidak bisa melupakan restoran Tizi's di Hegar Manah, yang antara lain menyediakan menu khusus Cream Chicken Soup, dan shaslik (sejenis sate daging). "Dan tentu saja draft beer," katanya lagi. Anak muda Jakarta 1970-an juga sangat menikmati acara Malam Muda Mudi yang diprakarsai Gubernur Ali Sadikin dengan menampilkan sederet band-band terkenal, mulai dari pop, dangdut, hingga rock. "Di sepanjang Jalan Thamrin hingga Bundaran HI, dibangun panggung-panggung acara semalam suntuk," kata Tono. "Bigman Robinson sering kebagian panggung yang berada tepat di samping Bundaran HI," tambahnya. 
Saat itu yang namanya hiburan memang merupakan barang langka. Jadi tidak heran setiap ada acara pertunjukan gratis seperti Malam Muda Mudi, penonton acapkali tumpah ruah. Bisa juga dicatat konser yang diberi judul mentereng, Summer 28, yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, tanggal 16 Agustus 1973. Summer 28 sendiri merupakan akronim Suasana Menjelang Merdeka ke-28, dan konon digelar untuk meniru pesta musik akbar Woodstock di AS tahun 1969. 
Maka ditampilkanlah sederet pemusik berbagai aliran dalam acara Summer 28 yang berlangsung dari siang hingga dini hari. Grup-grup yang unjuk gigi di acara yang dihadiri ratusan ribu penonton itu antara lain Koes Plus, The Disc. The Mercy's, Panbers, Bimbo, Gembell's, Bimbo, Pretty Sister, The Rollies, Gang of Harry Roesli, Broery Marantika, The Pro's, Idris Sardi, Remy Silado, Trio Los Morenos, Young Gipsy, Fly Baits, dan God Bless. 
Dua tahun berselang, konser akbar terulang lagi di Jakarta. Kali ini menampilkan Deep Purple yang berlangsung selama dua hari berturut-turut, 4 dan 5 Desember 1975. "Selama dua hari berturut-turut konser ini ditonton sekitar 100.000 penonton," ungkap Denny Sabri dari majalah Aktuil, yang bekerja sama dengan promotor Peter Basuki dari Buena Ventura. 
Sayangnya, selama konser sempat terjadi kericuhan yang dipicu oleh penonton. "Saya nggak habis pikir para penonton bisa jadi brutal di saat menikmati suguhan musik. Meskipun penonton membludak, tetapi kami sebagai penyelenggara, mengalami kerugian karena banyak penonton yang masuk menerobos tanpa membeli tiket," tutur Denny, yang saat ini masih menekuni profesi sebagai pemandu bakat di Bandung. 
Setelah sekian tahun berselang, Deep Purple yang memasuki usia senja, mampir kembali di Jakarta. Apakah sambutan penonton masih tetap menggebu-gebu seperti dulu? "Rasanya nggak. Mungkin bisa dianggap sebagai ajang nostalgia belaka," tutur Triawan. "Apalagi, konser supergrup luar negeri, sekarang bukan hal yang baru lagi," tambah Andy. 
"Mungkin di situ pula letak beda romantika anak muda 1970-an dengan terseret ke alam globalisasi. Kalau dulu emuanya serba terbatas, info musik dan gaya hidup cuma bisa disadap dari majalah Aktuil yang bisa disebut bacaan wajib anak muda. Kalau sekarang, arus informasi sudah sedemikian derasnya bahkan kita nyaris tidak bisa membendungnya dalam filter budaya kita lagi," kata Andy. 
"Tetapi, anak muda sekarang yang begitu banyak dimudahkan oleh fasilitas, apa masih memiliki kreativitas tinggi? Ini yang patut dipertanyakan secara serius. Dulu, kita dengan segala keterbatasan malah mencuatkan kreativitas. Contohnya, ya bikin sepatu tumit tinggi, atau malah bikin dry ice tiruan untuk manggung, dan banyak contoh lainnya," kata Triawan. Betulkah? 
Diskusi dan Pemutaran Film "Duo Kribo" (1978)
DUO KRIBO film yang di produksi tahun 1977 karya sutradara Eduart P Sirait yang dibintangi oleh Ucok AKA Haraphap dan Achmad Albar. Film ini tidak hanya sukses di Indonesia, bahkan sukses di Malyasia dan Singapura .

Film yang diangkat dari duo Achmad Albar dan almarhum Ucok Harahap "Duo Kribo"i belum pernah diputar kembali hampir 32 tahun lamanya. Karena copy film ini tidak pernah diketahui dimana keberadaannya bahkan di SINEMATEK INDONESIA tidak memiliki copy film tersebut. Secara tidak sengaja Kineforum menemukan copy film DUO KRIBO yang disutradarai oleh Edward Pesta Sirait  di Interstudio Film.Perusahaan Film milik almarhum Nyoo Han Siang yang memproduksi film ini di tahun 1978.


Dalam Bulan Film Nasional 2010, Kineforum dengan bangga akan memutar kembali film DUO KRIBO dalam program PUBLIK untuk RUANG PUBLIK. Film ini akan diputar tanggal 14 Maret 2010 jam 14.15 di Kineforum.

Selain pemutaran film DUO KRIBO, akan diselenggarakan juga diskusi dengan tema "MUSIK ROCK, FILM, dan ANAK MUDA" yang menapilkan pembicara : Riri Riza (sutradarafilm),David Tarigan (kolektor musik),Adib Hidayat (jurnalis musik) dan Denny Sakrie (pengamat musik).
Setelah diskusi akan dilanjutkan dengan Konser Musik dengan tema "ROCK" yang menampilkan  GRIBS – THAT’S ROCKEFELLER – THE TREES & THE WILD

 00000000000000000000000000000000000000000000000000000

  

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites